Pilih Pasar Mainstream, Bukan Niche

Dalam berbagai buku teks tentang bisnis serta berbagai kuliah, seringkali kita diajarkan untuk membuat produk yang unik untuk pasar niche. Sebagai contoh misalnya tas branded, mobil mewah, jajanan unik, dsb. Kita lalu sedikit melupakan strategi lain yaitu menjual produk yang tidak terlalu unik sebanyak-banyaknya pada pasar mainstream. Mitos "produk unik" ini lambat laun menjadi seperti ideologi yang selalu diterapkan pebisnis pemula, yang menganggap bahwa mitos ini merupakan resep untuk lebih mudah menjadi sukses, padahal, belum tentu! Pada banyak kasus, bisnis yang menyasar pasar mainstream malah lebih mudah menciptakan demand yang tinggi dan konstan, yang merupakan syarat bisnis menjadi sustainable.

ilustrasi-pasar
Image by Martin Winkler from Pixabay

Sama-Sama Berkompetisi

Ketika memulai berbisnis, anda sudah langsung dihadapkan pada kompetisi. Hampir tidak ada ide bisnis yang belum pernah dipikirkan orang lain, sehingga pasti kompetitor atau bisnis sejenis itu eksis. Kompetisi itu selalu sulit, dan meskipun kita memilih untuk berkompetisi di pasar niche, kompetisinya pun pasti akan sulit. Konon, kompetisi di pasar mainstream seperti "red ocean" sehingga kita lebih baik berkompetisi di "blue ocean" (merujuk pada blue ocean strategy). Akan tetapi, yang banyak orang tidak paham adalah berkompetisi di pasar niche juga memiliki kesulitannya sendiri, dan seolah-olah strategi-strategi yang banyak kita pelajari untuk fokus di niche mengajarkan kita untuk takut berkompetisi di pasar mainstream. Jangan takut!

Sulit Menciptakan Demand Yang Stabil

Demand di pasar niche tentu saja jauh lebih sedikit daripada di pasar mainstream. Keterbatasan ini disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya: selera konsumen, sifatnya musiman, ataupun produk hanya dibutuhkan oleh kalangan tertentu. Hal ini tentu akan mempengaruhi jumlah penjualan.

Sebagai contoh, anda pasti akan mendapati banyak penjual sate, bakso, soto, yang telah berjualan semenjak puluhan tahun yang lalu. Meskipun kompetisi di bisnis kuliner tersebut sangat ketat, tapi toh banyak yang bisa bertahan dan sukses berjualan sampai puluhan tahun. Hal ini dikarenakan pasar yang sangat luas, atau dengan kata lain, begitu banyak orang yang mau membeli produk tersebut. Sebaliknya, produk niche itu seperti kue mochi, thai tea, cappuccino cincau, kebab, dan lain-lain. Memang demandnya bisa tinggi dalam waktu singkat, tetapi tidak bisa stabil dalam jangka panjang.

Ada pepatah, "kuantitas jauh lebih stabil dari kualitas" yang maksudnya, ketika anda bisa menjual 10.000 unit dengan margin Rp 100.000,- (skenario A) akan jauh lebih stabil dari pada menjual 100 unit dengan margin Rp 10.000.000,- (skenario B). Apabila kita asumsikan satu orang membeli satu unit, pada skenario B hanya 100 orang kaya yang membeli produk kita dibandingkan dengan skenario A yang berjumlah 10.000 orang kelas menengah. Apa yang terjadi ketika ada krisis ekonomi yang membuat banyak orang kaya tertimpa masalah? Tentu saja produk skenario B akan mengalami demand shock yang lebih hebat dari pada produk skenario A.

Sulit Mencapai Skala Ekonomi (Economies of Scale)

Salah satu ciri utama produk mainstream adalah harganya yang lebih murah. Harga murah ini pada umumnya disebabkan oleh efisiensi untuk memproduksi jumlah barang yang banyak sehingga bisa menekan biaya produksi. Ingat bahwa total keuntungan adalah jumlah unit penjualan dikalikan keuntungan per unit, yang artinya si penjual masih bisa mendapatkan keuntungan yang besar meskipun mengenakan margin keuntungan yang kecil. Dengan kata lain, asalkan banyak yang beli, dijual murah juga masih untung.

Produk yang menyasar pasar niche umumnya adalah produk yang unik sehingga terlalu banyak membutuhkan tenaga (kreasi) manusia. Akibatnya, ada dua faktor yang menghambat pertumbuhan usaha yang bermain pada pasar barang unik ini, yaitu (1) sedikit yang mau beli karena harga tidak bisa murah, dan (2) meskipun banyak yang mau beli tapi sulit untuk memproduksi massal. Yang pada intinya sulit untuk menekan biaya produksi karena tidak bisa dengan mudah memproduksi barang dalam jumlah yang banyak.

Memainstreamkan Niche

Meskipun ada keterbatasan demand di pasar niche, bukan berarti demand tersebut tidak bisa bertumbuh untuk menjadi pasar mainstream yang baru. Untuk anda yang sudah sukses di pasar niche, merupakan tantangan untuk anda agar bisa menumbuhkan demand tersebut. Tentu saja ada perbedaan karakteristik produk-produk niche yang tidak bisa disamaratakan satu dengan yang lain, dan juga mungkin anda sudah cukup puas bermain di pasar niche. Namun, anda bisa mencoba untuk (1) mengedukasi pasar untuk menciptakan demand, (2) mengurangi atau mengefisienkan tenaga manusia dan menggantinya dengan mesin, (3) memasuki pasar mainstream dengan keahlian/brand yang sudah anda bangun.

Akhir kata, penulis hanya ingin menyampaikan kalau sejarah membuktikan bahwa perusahaan yang bisa memiliki keunggulan ekonomi dalam pasar mainstream-lah yang akan bertahan lama. Mungkin perusahaan tersebut dulunya masuk di pasar niche dan tidak menyangka akan menjadi mainstream. Sebagai contoh misalnya Google dan Facebook yang tidak memiliki demand pada awal mula perusahaan tersebut berdiri. Namun, mereka bisa bertumbuh besar untuk menangani jumlah permintaan yang terus bertambah, dalam hal ini search request untuk Google, dan jumlah user untuk Facebook. Apabila saat ini anda ingin membangun produk yang sama, anda sulit bersaing dengan skala ekonomi kedua perusahaan tersebut yang sampai bisa menggratiskan jasa mereka. Tapi, bukan berarti tidak ada yang berani berkompetisi dengan mereka, sebut saja Bing, Yahoo, DuckDuckGo, dan lain sebagainya.

Kutip artikel ini:
Kontributor KuBisnis, 2020, https://www.kubisnis.com/pilih-pasar-mainstream-bukan-niche/ (diakses pada 08 Dec 2023).

Artikel ini bukan yang Anda butuhkan?
Anda bisa mengirimkan saran pada KuBisnis di akun fb/twitter/google kami di @KuBisnis.
Topik dengan voting komentar terbanyak akan mendapatkan prioritas dibuatkan artikel.

Avatar photo
KuBisnis

Penerbit KuBisnis adalah penerbit artikel bisnis dan kewirausahaan berkualitas. KuBisnis percaya bahwa setelah proyek artikel ini selesai, Indonesia akan menjadi negara yang memiliki banyak entrepreneur! Semua konten tulisan, gambar, dan video pada situs ini adalah hak cipta KuBisnis, kecuali dinyatakan khusus secara tertulis. Hak cipta dilindungi oleh DMCA dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Articles: 91