Siapa yang tidak ingin hidupnya bahagia. Semua orang pasti ingin bahagia. Pertanyaan tentang kebahagiaan ini memang sudah muncul sejak jaman dahulu kala, namun jawaban dari pertanyaan "apa yang membuat seseorang bahagia?" dan "bagaimana cara agar bahagia?" seakan belum tuntas terjawab. Kali ini kita akan mencoba menjawabnya dari perspektif dua orang "biksu" yang bernama David Steindl-Rast dan Matthieu Ricard.[1][2]
Daftar isi
Artikel ini membahas: (1) Apa itu Kebahagiaan?; (2) Kebahagiaan vs Kenikmatan; (3) Bahagia lalu bersyukur atau sebaliknya?; dan (4) Manfaat hidup bersyukur.
Apa itu Kebahagiaan?
Menurut KBBI, definisi kebahagiaan (en: happiness) ialah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin.[3] Memang arti kebahagiaan seringkali samar dan tidak jelas, mungkin itulah mengapa kita sering salah dalam mengartikan dan mencari kebahagiaan.
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan kebahagiaan adalah damai sejahtera (en: well-being), yaitu perasaan tenteram dan pemenuhan yang mendalam, sebuah keadaan yang melingkupi dan mendasari semua emosi.[1] Sehingga di saat-saat susah dan sedih, seseorang masih bisa bahagia. Ini memang sesuatu yang aneh, bagaimana mungkin saat susah seseorang masih dalam suasana bahagia?
Ketika gelas terisi setengah, apakah gelas tersebut setengah kosong atau setengah penuh? Orang kaya bisa saja tidak merasa bahagia karena masih terus menginginkan yang lebih baik, mereka tidak merasa tenang, takut bisnisnya bangkrut, takut dikhianati, dll. Sedangkan orang miskin mungkin dapat lebih bahagia karena hidupnya lebih tenteram. Ketenangan hidup tersebut terpancar dari aura dan ekspresi biksu-biksu di Tibet.
Kebahagiaan vs Kenikmatan
Kebahagiaan dan kenikmatan/kepuasan bukanlah hal yang sama. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat "tahan lama," tidak seperti kenikmatan yang hanya bersifat sementara. Misalnya kita mempunyai satu loyang pizza, satu potong pertama kita akan merasa nikmat. Satu potong berikutnya kita masih merasa nikmat, namun sudah terasa sedikit berkurang kenikmatannya. Dan pada akhirnya kita tidak lagi merasa nikmat, bahkan malah merasa jijik dan malas untuk makan pizza lagi.
Apabila seseorang mengejar kenikmatan dunia, dia tidak akan merasa puas dengan semua kenikmatan yang dia miliki. Lambat laun segala yang ia punyai tidak berarti dan tidak lagi memberikan kenikmatan. Buku "The Monk Who Sold His Ferrari" oleh Robin Sharma, dapat memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana mencari kebahagiaan.[5]
Cara mencari kebahagiaan ternyata berbeda dengan pengetahuan umum yang sudah ditanamkan pada diri kita sejak kecil. Sejak kecil kita diajarkan untuk sekolah, berprestasi, lulus, bekerja, mapan, mengumpulkan kekayaan, lalu berkeluarga. Seolah-olah itu adalah cara satu-satunya untuk mendapatkan kebahagiaan. Padahal ada cara lebih mudah untuk bahagia, yaitu dengan bersyukur.
Bahagia Lalu Bersyukur atau sebaliknya?
Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dengan bersyukur (en: gratefulness)? Pengetahuan umum mengajarkan ketika kita bahagia seharusnya kita bersyukur, namun pada kenyataannya orang yang penuh rasa syukur selalu merasa bahagia. Mungkin kita sebaiknya merenungkan kembali hubungan kebahagiaan dan rasa syukur ini.
Kita semua tahu cukup banyak orang yang memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk menjadi bahagia, tapi mereka tidak bahagia. Hal ini karena mereka ingin sesuatu yang lain atau mereka ingin sesuatu yang kurang lebih sama. Dan kita semua tahu orang-orang yang memiliki banyak ketidakberuntungan, musibah yang kita sendiri tidak ingin alami, mereka sangat bahagia, dan mereka memancarkan kebahagiaan. Mengapa? Karena mereka bersyukur. Jadi bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, tetapi bersyukur yang membuat kita bahagia.[2]
Bersyukur adalah berterima kasih kepada Tuhan.[4] Kita sebaiknya bersyukur atas kehidupan yang diberikan, dengan mengalami dan menyadari setiap kesempatan yang diberikan, adalah sebuah anugerah. Kesempatan itu tidak kita beli atau tidak kita dapatkan atas hasil usaha kita, itu adalah sebuah hadiah. Kesempatan untuk mengalami momen-momen dalam kehidupan adalah sesuatu yang gratis diberikan, dan tanpa momen tersebut kita tidak dapat merasakan atau mengalami apapun. Inilah makna hidup yang penuh rasa syukur.
Manfaat Hidup Bersyukur
Dengan bersyukur, kita melihat dunia dengan perspektif "gelas setengah penuh," sehingga kita berperilaku dengan mindset kecukupan, bukan kelangkaan. Pandangan ini membuat kita cenderung berbagi kepada sesama, dan tidak mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri.
Dengan bersyukur, kita menjadi tidak dalam kondisi selalu ketakutan akan kehilangan apa yang kita miliki. Apabila tidak ada rasa takut/cemas maka kita akan lebih mudah percaya pada sesama, tidak mencurigai, tidak berfikir untuk melakukan kekerasan, dan memiliki relasi yang lebih baik dengan sesama.
Dengan bersyukur, kita menikmati perbedaan di antara sesama manusia, kita dapat menghormati semua orang.
Hidup yang penuh syukur merupakan hal yang melandasi kebahagian, keadaan yang melingkupi semua emosi. Kebahagiaan dapat hadir saat suka maupun duka, saat susah maupun senang, kaya maupun miskin. Semuanya bersumber dari diri kita sendiri.
Kutip artikel ini:
Kontributor KuBisnis, 2017, https://www.kubisnis.com/resep-kebahagiaan-bersyukur/ (diakses pada 06 Aug 2024).
Artikel ini bukan yang Anda butuhkan?
Anda bisa mengirimkan saran pada KuBisnis di akun fb/twitter/google kami di @KuBisnis.
Topik dengan voting komentar terbanyak akan mendapatkan prioritas dibuatkan artikel.